Sudah
menjadi mainstream ummat Islam nusantara, lebaran baik Idul Fitri
maupun Idul Adha selalu identik dengan ketupat. Makanan berbentuk kepal bersudut tujuh
yang terbuat dari beras dan dibungkus daun pandan atau kelapa, selalu
hadir bersama opor atau gulai. Tapi tidak demikian halnya di dataran
Bugis, termasuk di kampung halaman saya Sidenreng Rappang.
Jika lebaran tiba, jangan pernah mencari ketupat, karena makanan utama ummat yang sedang merayakan Ied adalah burasa (baca burasa’). Burasa pada dasarnya hampir sama dengan ketupat, terbuat dari beras, yang berbeda ada pada kemasan, ukuran dan bentuknya. Burasa terbuat dari daun pisang. Maka tak heran setiap menjelang lebaran, bermunculanlah para penjual daun pisang. Bentuk burasa juga cukup unik, selain itu ukurannya secara umum lebih tipis dari ketupat
.
.
Dari
bahan utama pembuatannya, secara umum, ada dua macam burasa. Burasa
yang terbuat dari beras putih dan hitam. Untuk membedakannya, beras
putih dibikin lebih lebar, sedang beras hitam lebih panjang. Proses
memasak (dikukus) burasa cukup lama, semalam penuh. Agar segar di hari raya, maka burasa akan dikukus pada
malam lebaran, biasanya sepulang takbir keliling. Burasa dimasak dalam
wajan besar di atas dapo (tungku tradisional yang terbuat dari tanah),
dengan bahan bakar kayu.
Pembuatan burasa
dimulai dengan mengambil daun pisang segar lalu dikeringkan untuk
menurunkan kadar airnya. Tujuannya tentu agar ketika daun dilipat tidak
cepat robek. Daun pisang dibersihkan dengan kain kering lalu dipotong
dengan ukuran sesuai kebutuhan. Selanjutnya beralih ke beras. Beras
dicuci dengan air bersih seperti jika sedang ingin memasak nasi. Untuk
meningkatkan cita rasa, maka beras itu diberi air santan lalu ditunggu
sampai meresap atau dimasak. Terkadang juga diberi daun pandan agar lebih harum tentunya.
Beras
kemudian dikemas dalam daun pisang. Agar lebih kuat, daun dibuat dua
lapis. Lapis terdalam terbuat dari daun pisang yang masih muda, sedang
lapisan luar merupakan daun yang sudah cukup tua. beras yang telah
dikemas itu kemudian ditumpuk dua sampai empat yang saling berhadapan
(lipatannya) lalu kemudian diikat. Untuk mengikatnya pun bukan
sembarangan, tali. Tali itu diambil dari carik karung beras.
Pada
hari raya, burasa akan dihidangkan bersama ragam kuliner khas Sulawesi
Selatan, macam konro yang berbahan utama tulang sapi, nasu alikkua
yaitu ayam yang dimasak dengan lengkuas, gore-gore, bajabu, salonde, dan
masih banyak lagi. Di luar hari raya pun masih sering ditemui burasa
yang dikonsumsi dengan cobe-cobe (ulek cabai) atau tai boka (limbah
pengolahan minyak kelapa).
Belakangan, mas-mbak penjual bakso dari Pulau Jawa pun ikut menyediakan burasa sebagai tembahan ketika menghidangkan bakso.
.
@Sidrap, 9 Zulhijjah 1433 H
Selamat Idul Adha. Kalau butuh Hewan Qurban, hubungi saya. Hehehe... Promosi.
Wassalam, IRSYAM SYAM
.
0 komentar:
Posting Komentar