Selasa, 22 Maret 2011

Sperma

Vulvamu memerah, hangat
Deras lendir bening menetes tanpa izin
Bilamana instingku berdusta?
Ah, kau birahi…

Desahmu menggeliat pada gelisahku
Dipan eksotis dari kayu tepis
Dan semerbak aroma khas wewangian
Yang rutin kau semprot pasca fajar

Doggy style tanpa foreplay
Godamu genit berbisik lirih
Pelan, berpacu, menggelinjang
Oooo… puncak klimaks parabola

Attumate

[Dedikasi untuk Alm. Syahrir daeng Nalla]

Ilustrasi (ittelkom)

#1
Entah kau-aku; ada yang terasa hilang
Melenyap dalam kawanan kabut di malam itu

            “Sudahlah, ammak, ritual attumate itu membutuhkan  biaya banyak. Darimana kita memperoleh uang sebanyak itu dalam sekejap? Apakah kita harus berutang? Bukankah, daeng Nalla’ku juga sudah dikuburkan? Cukuplah kita mengundang tetangga-tetangga saja datang ke rumah untuk mengaji dan mendoakannnya, insya Allah, daeng Nalla juga sudah ikhlas kok.”
Ini perdebatan yang berulang dengan mamaku dan entah sudah berapa kali aku pun tak ingat sejak kematian Almarhum kakakku tiga hari lalu. Tragis. Yah, itulah kata yang patut kugambarkan untuk kematiannya yang mendadak. Aku masih ingat. Suatu siang di terminal di Surabaya. Handphone ku berbunyi.

Bahagia Paling Sederhana

dwikisetiyawan.wordpress.com
Angin mendesah begitu tajam. Malam menjerit di bawah temaram hati yang muram. Gelap gulita. Tak Nampak lagi lalu lalang manusia penggila kerja, sebagian pulas tertidur. Malam hampir larut, pukul sepuluh lebih. Di ujung jalan, nampak lelaki setengah baya mendorong gerobaknya begitu lambat. Kilatan petir mulai mengejar-ngejar.

”Aku harus sampai di rumah sebelum hujan turun,” ujar lelaki itu. Gerobaknya terus melaju. Suara ban gerobak menderit ngilu sebab dipaksa berputar. Selepas magrib tadi, dia menjajakan sate kambing dan sate ayam. Tak habis semua, tapi biarlah. Nafasnya memburu begitu kencang, seolah berpacu dengan waktu yang makin menggertak.

”Jualanmu malam ini tak habis lagi, Darso. Ha ha ha. Bagaimana bisa kau memberi makan istri dan anakmu kalau penghasilanmu begitu-begitu saja. Ah, sudahilah. Lebih baik cari pekerjaan baru.”Suara itu terngiang begitu keras di telinga Darso, lelaki pendorong gerobak. Dia tersentak. Entah mengapa tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Malam apa ini?

Sabtu, 19 Maret 2011

Cinta dalam Bakso

Ilustrasi / inadwiana.wordpress.com
Hidup selalu soal pilihan dan sering tak memberi kita kebebasan memiliki semua yang kita harapkan. Begitu juga dengan mimpi. Berapa banyak mimpi yang tersingkir demi satu pilihan mutlak? Hidup  tak seperti judi. Yang jika kau sudah mahir bertaruh, maka peluang menangmu semakin besar. Hah!

Hidup lebih mirip dengan mata dadu. Karena begitu dilempar, maka biarkan saja udara yang menentukan angka yang akan muncul. Dan siapkanlah jantung untuk tak berdetak barang beberapa lama.

Hidup bukan tentang pertaruhan, tapi lebih pada kesiapan. Dan kesiapan inilah yang yang tak dimiliki sebagian orang.

Seperti Narmi, perempuan yang dikhianati pilihan. Waktu dan pilihan  telah membunuh semangat hidupnya satu persatu. Perlahan namun pasti.

Jumat, 11 Maret 2011

Bakso Mas “Daeng”, Khas Makassar

Photobucket
kfk.kompas.com
Orang Bugis dan Makassar pada umumnya risih jika dipanggil “Mas” atau “Mbak”. Kenapa? Karena di Sulawesi Selatan, panggilan itu sangat identik dengan penjual Bakso dan Jamu. Tapi belakangan, hampir semua penjual jajanan atau kaki lima dipanggil Mas. Bahkan saya pernah mendengar di sebuah Warung Coto ada pengunjung memanggil pelayan Mas, paruh dagingnya dua. Lho, Bukannya penjual Coto itu asli Makassar?
Orang Jawa tentu tidak usah berkecil hati jika di Sulawesi Selatan panggilan Mas/Mbak diidentikkan dengan pedagang kaki lima. Malah seharusnya berbangga diri, khususnya soal kuliner. Karena di Makassar, makanan enak itu disebut “Kanre Jawa” (Makanan Jawa). Salah satu makanan yang diyakini dibawa oleh Orang Jawa yang sangat diminati adalah Bakso. Maka beredarlah warung-warung bakso dengan nama-nama Daerah Jawa. Bakso SoloBakso SurakartaBakso Djogdja … atau nama pemiliknya Bakso Mas EndutBakso Mas Karyo etc. Walaupun secara etimologi, bakso itu berasal dari Cina.

Gedung di Makassar, Setiap Hari Ganti Karpet

Tulisan pada karpet di lantai lift
Beberapa hari terakhir, saya melakukan aktivitas di Gedung Graha Pena. Sebuah gedung yang diklaim tertinggi di Makassar, bahkan konon tertinggi di luar Pulau Jawa. Karena suatu keperluan (tidak jauh-jauh dari ternak) dengan sebuah NGO Internasional yang banyak melakukan riset bidang pertanian di Indonesia.

Di gedung berlantai 19 plus antena televisi di puncaknya itu berkantor banyak sekali institusi. Mulai dari media cetak, televisi, perusahaan telekomunikasi, lembaga kursus, NGO, dan perusahaan-perusahaan swasta yang lain. Jadi bisa dibayangkan bagaimana banyaknya karyawan yang setiap hari beraktivitas di sana.