Aqiqah |
Coba tanya kepada suami-suami, kapankah saat paling bahagia sejak bergabung
dalam lembaga pernikahan? jawabnya pasti tidak jauh-jauh “Pas malam pertama”,
eh... itu saat paling mendebarkan yah, hahahaha... Menurut saya, salah satunya
adalah ketika menemui fakta bahwa tiga bulan pembalut di lemari masih tersegel
dan istri malah minta mangga muda. Yah, telat, saya ulangi, ngidam, saya ulangi
lagi, hamil. Wah, kami berdua segera jadi ayah, jadi ibu. Sebagai calon
ayah-ibu pemula, segalanya kami persiapakan, matangkan mental, kumpulkan
finansial, dan yang pasti memilihkan nama.
Apalah Arti Sebuah Nama??? Tentulah nama sangat ber(arti),
terlebih untuk nama yang memang punya arti. Kata orang bijak, nama adalah do’a.
Sejak dipastikan hamil, baik saya maupun istri mulai mempersiapkan nama untuk
anak pertama kami kelak. Awalnya kami berdua bersepakat memberi nama NAUFAL jika
laki-laki, dan NAURA jika perempuan. Dua kata dalam bahasa Arab yang artinya
lebih kurang dermawan dan bunga. Diambil dari nama tokoh dalam sebuah cerpen
karya kolaborasi kami berdua, “Labirin Dua Hati”. Cerpen yang awalnya dipersiapkan untuk event malam prosa
kolaborasi di kompasiana.
Memasuki bulan ke-5 kehamilan, hasil USG dokter mengarah ke jenis
kelamin perempuan. Untuk meyakinkan, maka saya mengajak istri untuk USG di
dokter yang lain, yah semacam disenting opinian lah, hasilnya sama, perempuan.
Saya percaya pada ilmu pengetahuan, meski USG yang digunakan bukan 3 dimensi,
tapi hasil yang sama dari dua dokter berbeda cukup memberi keyakinan. Maka
sejak itu pilihan nama juga selalu mengarah ke perempuan.
Hari ke-2 |
Kami memilih untuk tidak mencantumkan nama orang tua di belakang
nama anak karena, pertama untuk memberi ruang bagi putri kami menjadi dirinya
sendiri lepas dari bayang-bayang keluarga. Kedua, menghindari kesalahan
penyebutan nama, saya mengambil contoh dua tokoh asal Makassar, yang belakangan
nama orang tuanya lebih populer ketimbang namanya sendiri, Habibie dan JK.
Sejatinya, nama Habibie adalah Baharuddin (dipanggil Rudi) pun demikian dengan
JK yang bernama kecil Ucu (Jusuf). Tapi orangorang menyapa dengan nama orang
tua, Pak Habibie dan Pak Kalla. Saya sendiri pernah mengalami hal demikian,
maka ketika mulai berfriendster 2005 silam, saya tampil dengan nama Irsyam
Syam, memenggal sebagian nama orang tua, dan saya meneruskan ketika bersosial
media dan bersosial blog beberapa tahun kemudian.
Sabtu, 18 Mei 2013, Pukul
11.55 wita, di sebuah Rumah Sakit berplat merah di Makssar, anak pertama
kami lahir, caesar, benar juga, kelaminnya perempuan. Dalam budaya Bugis, anak
laki-laki itu disebut Baco sedang perempuan Becce, mulailah sanak keluarga,
handai taulan datang menjenguk memberi selamat dan memanggilnya ecce, cacce,
etc... Setiap yang bertanya ikhwal nama, saya jawab bahwa nama akan diberikan
ketika aqiqah, maka datanglah pas syukuran aqiqah putri kami jika ingin
mengetahui namanya. Saya sendiri berjanji ke keluarga, bahwa nama akan
diputuskan setelah keluar dari RS.
Dalam masa penantian itulah, berbagai usulan nama saya terima.
Ayah mertua saya mengisahkan, bahwa putri-putranya diberi nama yang sesuai
dengan waktu kelahirannya, tak terkecuali istri saya yang sulung. Belakangan
saya baru tahu kalau nama RENI adalah singkatan dari (Rabu Empat belas Nopember
satu sembIlan delapan empat) sedang PURNAMA, yah karena saat itu bulan purnama.
Maka pemberian nama berdasar waktu lahir, menjadi insight tersendiri.
Ada juga pemberian nama dengan cara menggabung nama orang tua.
Jika kedua nama kami digabung, maka yang paling tepat adalah REISYA... Reni-Irsyam.
Istri saya sebenarnya juga pernah mengusulkan nama FILDZAH yang berarti belahan
jiwa, nah jika kedua nama itu digabung FILDZAH REISYA, maka jadilah belahan
hati Reni dan Irsyam. Arti yang bagus, tapi di dalamnya tidak mengandung do’a,
sementara kami kadung bersepakat kalau nama adalah do’a.
Bunda |
Kembali ke nama yang sudah dipersiapkan, NAURA. Namun istri saya
baru ingat kalau ada sanak keluarganya yang bernama NAURA, maka nama itu urung
digunakan. Saya melanjutkan pencarian nama dan akhirnya menemukan kata DAFINAH,
sebuah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kekayaan yang tersembunyi”. Karena
maknanya masih kabur, maka perlu menambahkan satu kata lagi yang artinya wujud
dari kekayaan yang tersembunyi itu. Mengingat putri kami adalah cucu pertama
dari keluarga istri, maka untuk kata kedua, saya mintakan kepada pihak keluarga
istri dalam hal ini ayah-ibu mertua.
Ibu mertua saya kemudian memberi nama ILMI yang berarti Ilmu.
Kenapa ILMI? mungkin karena keluarga besar istri saya memang berprofesi sebagai
pendidik, yang hariharinya bergelut dengan ilmu pengetahuan. Agar lebih indah,
maka ditambahkan Al, maka jadilah DAFINAH AL ILMI, kekayaan tersembunyi berupa
ilmu pengetahuan. Harapannya, putri kami kelak bisa menjadi orang kaya, kaya
ilmu. Ilmunya tersembunyi, dalam artian bukan untuk dipamer, tapi dibagibagi.
Bukankah ilmu jika dibagi akan bertambah.
Bagaimana dengan panggilan? Istri saya bilang DAFFA, kalau saya
sih FINA, hehehe... Jika kelak anak saya bertanya, kenapa diberi nama DAFINAH
AL ILMI, tentu saya tak perlu lagi repotrepot menceritakan. Silah bertandang ke
Kandang Ayah...
.
2 komentar:
Ih, Dafina udah aqiqah. Selamat!!
Si dedek mirip mamanya kan? Ah, lega.
Selamat jadi ayah ya, Om. *manggilnya Om, kan udah tua, udah punya anak* Kekekekeke
Iya tante Nova, udah aqiqah...
Mirip ayahnya dong, :D
Posting Komentar