Selasa, 22 Maret 2011

Bahagia Paling Sederhana

dwikisetiyawan.wordpress.com
Angin mendesah begitu tajam. Malam menjerit di bawah temaram hati yang muram. Gelap gulita. Tak Nampak lagi lalu lalang manusia penggila kerja, sebagian pulas tertidur. Malam hampir larut, pukul sepuluh lebih. Di ujung jalan, nampak lelaki setengah baya mendorong gerobaknya begitu lambat. Kilatan petir mulai mengejar-ngejar.

”Aku harus sampai di rumah sebelum hujan turun,” ujar lelaki itu. Gerobaknya terus melaju. Suara ban gerobak menderit ngilu sebab dipaksa berputar. Selepas magrib tadi, dia menjajakan sate kambing dan sate ayam. Tak habis semua, tapi biarlah. Nafasnya memburu begitu kencang, seolah berpacu dengan waktu yang makin menggertak.

”Jualanmu malam ini tak habis lagi, Darso. Ha ha ha. Bagaimana bisa kau memberi makan istri dan anakmu kalau penghasilanmu begitu-begitu saja. Ah, sudahilah. Lebih baik cari pekerjaan baru.”Suara itu terngiang begitu keras di telinga Darso, lelaki pendorong gerobak. Dia tersentak. Entah mengapa tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Malam apa ini?

*****

”Wajah Darso pucat pasi seperti sedang putus asa. Tampaknya dia sasaranku malam ini?” Sungut malaikat berpakaian serba putih. Malam ini, belum satu pun manusia yang dicabut nyawanya.

Darso sama sekali tak menyadari bahwa dirinya menjadi sasaran malaikat pencabut nyawa. Tengkuknya tarus meremang. “apa karena udara dingin malam ini ya?” ujarnya menyakinkan diri sambil sesekali mengusap leher.

Sementara itu, malaikat terus saja mengintai Darso. Mengikuti langkahnya hingga ke rumah. Malaikat bingung, apa benar Darso yang akan dicabut nyawanya malam ini? Tapi mengapa tak ada nama Darso di situ. Kosong.

“Ah bagaimana ini? Nama Darso belum tercatat! Tak mungkin! “

*****
“Bu, buka pintu. Ini bapak.” seru Darso pada Istrinya. Istri yang tengah berbaring di samping kedua anaknya di atas dipan tua beralaskan tikar lusuh, menggeliat mendengar suara suaminya. Warnih, istri Darso bangkit dari dipan lalu beranjak membuka pintu, di luar terlihat suaminya sedang merapikan gerobak. Masih ada sisa sate yang tak laku terjual malam ini.

”Tak habis lagi jualan malam ini, bang? ” Warnih sebenarnya tak tega bertanya begitu pada suaminya. Dia tau suaminya letih, harusnya dia menyuguhkan air minum. Tapi cemas dalam hati Warsih tak terbendung. Sudah dua hari anak mereka sakit, butuh uang untuk membeli obat.

Darso tersenyum, merangkul istrinya mesra sekali. “Kita masuk saja dulu. Buatkan teh ya, bu.” Warnih tersipu, bukan malu tapi merasa tersindir. Darso duduk berjulur kaki, punggungnya bersandar pada dinding papan rumah mereka.

Malaikat yang mengintai Darso sejak di perjalanan menuju pulang sedang menggerutu tak berkesudahan. Harusnya Darso ada di daftar yang mati malam ini. Dia masih menunggu saat dimana Darso mengeluh dan putus asa akan hidupnya yang sulit. Memohon agar Tuhan mencabut nyawanya. Atau paling tidak terlintas di benak Darso untuk menenggak racun pemutus nyawa. Entah sudah berapa lama malaikat pencabut nyawa itu menanti. Tak juga terkeluar gerutuan dari mulut Darso. Manusia macam apa Darso ini?

”Pak, hari ini beras habis.” Warnih tak berani menatap wajah Darso, dia juga tahu kalau Darso lelaki yang bersungguh-sungguh dalam bekerja.

”Doakan saja ya, bu. Semoga jualan laku.” Darso mengusap kepala istrinya, tak ada kecup di kening seperti yang seharusnya, Darso tak terbiasa. Perlahan dia mendorong gerobaknya, roda berdecit mengilukan telinga.

Hampir tengah malam, lolongan anjing hutan menyalak bersahutan. Hari kedua malaikat mengincar Darso. Siang tadi, malaikat melihat dagangan Darso tak banyak laku, mungkin malam ini dia akan menghujat Tuhan. ” Sampai dimana batas sabarmu, Darso.” Malaikat tergelak karena merasa menang.

Darso letih, tenaganya mulai mengendur. Malaikat sumringah lebar sekali. Akan ada yang mati hari ini. Malaikat menghampiri Darso, tersenyum mengejek.

”Kau lelah bukan? Aku sedang baik dan ingin membantumu.” Malaikat yang akan mencabut nyawa Darso mendekat.

Darso terkejut tak kepalang, dia terjajar dua langkah ke belakang. Dari mana datang orang ini? Astaga! Dia hampir mati jantungan. Belum sempat Darso bertanya, malaikat yang telah berubah wujud ini membuka arah bicara.

”Kulihat kau orang yang gigih, tapi mengapa tak kunjung kaya juga? Apa kau tak bosan seperti ini, kawan? “ Darso yang diajak bicara terdiam. Malaikat makin merasa menang.

”Kalo aku jadi kau, sudah lama aku mengakhiri hidup karena tak kuat.” Darso tersenyum, nyaris tak terlihat dan terus saja mendorong gerobaknya. Malaikat menguntit dari belakang.

”Aku takkan seperti itu. Masih banyak yang bisa kulakukan kalau tetap hidup. Maaf, aku sedang tak ingin berdebat. Hari sudah malam.” Malaikat tergelak. Bah! Lucu sekali lelaki ini. Tak puas rasanya jika belum benar-benar membuat lelaki ini putus asa.

”Ha ha ha… Ayolah, bilang saja kalau kau memang sudah lama ingin mati kan? Kalau benar, baik kupermudah.” Darso berhenti, malaikat girang bukan kepalang.

”Tak semua orang berhidup susah ingin mati. Mungkin ada, tapi tak banyak.” Tertohok! Malaikat benar tertohok, tepat sekali di jantung. Dia tak terima, dipepetnya langkah Darso.

”Apa maksudmu? “ Tanda kalau ada kesal di suara malaikat tadi,  nadanya meninggi.

”Manusia masih punya hati. Dan mereka takkan pernah tersesat karena hatilah yang menuntun mereka.” Singkat saja jawaban Darso. Malaikat pencabut nyawa diam tak bergerak, apa ini? Tak pernah ada manusia yang menolak mati sebelumnya.

Darso terus mendorong gerobaknya. Lolongan anjing hutan makin samar, angin mulai memainkan perannya. Menghembus kuduk, dingin sekali. Darso mempercepat langkah tanpa menoleh lagi ke belakang.

Lelaki setengah baya itu tersenyum, teringat percakapannya dengan orang yang baru dikenalnya tadi. Bagi Darso, hidupnya sudah bahagia meski tak berkecukupan. Bahagia itu ada pada gerobaknya yang tua, rumah papannya, istri yang berdaster longgar, anak yang minta dipangku meski pundaknya penuh dengan lelah yang menumpuk.

Bagi Darso, mati itu perkara mudah. Tapi hidup juga anugerah. Jadi, kenapa tak dinikmati saja? Bahagia tak sekedar berlebih, tapi lebih pada hati. Dia tersenyum.
____________

>>> Naskah Prosa Pada Festival Fiksi Kolaborasi (FFK)
>>> Irsyam Syam + Santy Novaria (No 016. duet asoy)
.

0 komentar:

Posting Komentar