Selasa, 22 Maret 2011

Attumate

[Dedikasi untuk Alm. Syahrir daeng Nalla]

Ilustrasi (ittelkom)

#1
Entah kau-aku; ada yang terasa hilang
Melenyap dalam kawanan kabut di malam itu

            “Sudahlah, ammak, ritual attumate itu membutuhkan  biaya banyak. Darimana kita memperoleh uang sebanyak itu dalam sekejap? Apakah kita harus berutang? Bukankah, daeng Nalla’ku juga sudah dikuburkan? Cukuplah kita mengundang tetangga-tetangga saja datang ke rumah untuk mengaji dan mendoakannnya, insya Allah, daeng Nalla juga sudah ikhlas kok.”
Ini perdebatan yang berulang dengan mamaku dan entah sudah berapa kali aku pun tak ingat sejak kematian Almarhum kakakku tiga hari lalu. Tragis. Yah, itulah kata yang patut kugambarkan untuk kematiannya yang mendadak. Aku masih ingat. Suatu siang di terminal di Surabaya. Handphone ku berbunyi.

            ‘Ndi’ tayu, bajik-bajik jaki? Nontonka berita tadi pagi kalo salah satu kereta tujuan Surabaya telah terperosok ke jurang. Bukanji kereta yang kau tumpangi toh?” Begitulah pertanyaannya dengan nada kekhawatiran begitu tinggi dan logat Makassarnya yang khas.
            “Iyye bukanji daeng, buktinya saya masih angkat telponta toh? Saya sekarang sudah tiba di terminal pasar ikan di Surabaya,” jawabku dengan sedikit tertawa dan bersikap tenang. Kudengar helaan nafasnya yang begitu berat dan ucapan syukur Alhamdulillah yang berulang. Lalu, kujelaskan pula, kalo KA yang terperosok ke jurang itu adalah di arah selatan, di Madiun.
            “Hati-hatiki Ndi’ nah. Salamakki battu mae ri ballaka.” Aku mendengarnya dengan hati yang terenyuh. Entah, perasaanku merasa tersentuh dengan perkataan kakakku ini. Setiap kali aku ke luar kota, selalu saja di cek keberadaanku sudah di mana, tetapi kali ini seperti ada yang berbeda. Bahagia, karena aku sangat diperhatikan. Tetapi ada sedih yang mengiris batinku seolah aku diisyaratkan oleh suatu hal yang membuatku menangis kelak. Oh Tuhan, semoga semuanya baik-baik saja.
Telepon terputus setelah mendapat beberapa wejangan penting di kota orang.
            Aku lupa memberitahumu, kan? Sepanjang perjalananku siar ke beberapa kota besar dan pertama kali dengan tidak ditemani oleh siapapun. Rute akhirku adalah dari Jakarta-Surabaya, aku ngotot menggunakan kereta api. Meskipun, semua kakak sepupuku di Jakarta memintaku agar naik pesawat saja. Mengenai biaya, mereka yang menanggung. Rengekanku tak lebih dari rengekan kanak-kanak usia 5 tahun yang ingin dibelikan permen dan coklat. Akhirnya, pintaku terkabulkan, jadilah daeng Halusu, istri kakak sepupu, yang bernama daeng Tenreng, yang bekerja sebagai manajer koki di kapal laut PELNI pergi ke agen tiket untuk mengabulkan keinginanku. Yah, kalian pasti heran kan, mengapa kami sangat akrab, meski hanya bersepupu terlebih pula hanya hubungan sepupu dua kali.
Baiklah akan kuceritakan sedikit perihal hubungan keluraga dalam adat Bugis-Makassar, umumnya dan keluarga kami, khususnya, bahwa hubungan darah bukan saudara sekandung seayah dan seibu, dinamakan sepupu satu kali, yakni jika pihak ayah atau ibu bersaudara dengan ayah atau ibu mereka. Sedangkan, sepupu dua kali, jika pihak ayah atau ibu bersepupu satu kali dengan salah satu pihak kedua orangtua sepupu satu kali. Begitulah seterusnya. Yang paling dekat hubungannya adalah sepupu sekali, sudah seperti saudara kandung karna masih sedarah dengan salah satu pihak ayah dan ibu kami. Sedangkan, sepupu dua kali, memiliki satu sekat atau perantara sehingga terkadang ada kesan tidak begitu dekat lagi. Tetapi, hal ini tentu berbeda dengan keluargaku. Sepupu satu kali dan dua kali tetap seperti saudara kandung bagi kami. Saking begitu eratnya, hingga kadang keluarga bahkan orang lain berusaha menjodohkan kami satu sama lain. Tapi, kami hanya tertawa mendengarnya. Guyonan yang tak lazim lagi. Hampir tiap hari menjadi pembicaraan-pembicaraan semua purinangku.


#2
Subuh yang basah
Kaukah yang memberi Nyawa?
Meneteskan rindu pada jiwa yang masih terbaring?

            Titik-titik bening mengalir deras di wajahku. Aku tak menyadarinya. Sementara mataku terus saja tak berkedip menatapi barisan-barisan kata dalam novel yang kubaca sepanjang kereta api melaju. Suara gemerisik hujan terdengar dari luar seperti tarian pakarena yang diiringi nyanyian Mangkasarak. Petir menampar-nampar langit seolah  isyarat kematian kian mendekat. Tangisan bayi usia 7 bulan di sampingku tiada henti, sedang bibir ibunya tiada jenuh mengeloni lagu jawa yang tak kupahami artinya. Aku terkejut ketika ibu bayi itu menegurku, “Mbak, nangis yah? Ini ada tissue,” ujarnya sambil menyodorkan tissue lembut dan harum. Aku melihat senyumnya yang manis. Ah, ibu ini cantik sekali. Sungguh beruntung suaminya. Ujarku membatin. Dengan tersipu malu, kuraih tissue pemberiannya dan kusapu airmataku segera.
            “Makasih Mba, kenalin, namaku Ayuri,” kusodorkan tanganku untuk berkenalan. “Arsih Halimah”, jawabnya singkat.
            “Mba, kenapa nangis tadi? Abis putus ma pacar yah?” tanyanya begitu pelan, seolah ragu memberiku pertanyaan yang sensitif. Kuurai senyumku.
“Ah, tidak kok mba. Novel ini sangat mengharu biru. Baru kali ini, aku membaca novel yang membuatku miris. Teriris-iris. Ada yang menggoncang di sini,” sambil aku menunjuk ke dadaku dan memperlihatkan halaman depan Novel itu. Bidadari Surga. Perjuangan seorang kakak perempuan untuk membiayai pendidikan dan hidup adik-adiknya yang berjumlah lima orang. Dia harus meninggal dalam keadaan yang masih perawan di usianya yang sudah tak muda lagi, 45 tahun, meski dalam hati kecilnya sangat menginginkan seorang pendamping sebelum ajal menjemputnya. Kamu harus membacanya. Lalu, perjalanan kami disertai cerita-cerita yang menarik antara aku dan Arsih. Bayinya pun sudah tidak rewel lagi. Tertidur lelap dalam pangkuan ibunya di kursi kereta yang menurutku sangat menyiksa posisi ibunya duduk. Kualihkan pandanganku ke luar jendela kereta api. Gelap gulita. Bayangan-bayangan hitam berkelebat seolah menggodaku menatapnya. Hujan terdiam sejenak seolah memberitahukan kalo subuh akan menjelang. Subuh yang basah.


#3
Kelak kau akan paham,
sebab titik hanyalah ada pada keinginan Tuhan kita

14.15 WIB. Menyusuri lekuk-lekuk tubuh Surabaya yang menggarang. Peluh keringat membanjiriku. Bermodalkan petunjuk kawanku Mas Arif, kuyakini diriku akan bisa menjumpai bandara Juanda sebentar lagi. Ah, Makassar, aku tak sabar lagi. Entah, ada yang membuncah di dadaku. Ada yang bergemuruh di nafasku. Lelah ini tak terasa lagi. Hmm…. Lambat nian laju taxi ini. Sejam lagi aku harus boarding pass. Ujarku membatin.
Handphoneku berbunyi. Kali ini bukan sms, sebab tujuh sms tak ku­ reply sebelumnya. Kutatap layar HP-ku, tertulis KkQ Nalla Boger.  Segera kuangkat, helaan nafasku memanjang. “Kau sudah di mana ndi’? Kenapa sms daeng Nalla tidak dibalas?” suara wanita terdengar khawatir di seberang sana. Oh, istri kakakku, namanya Daeng Singara.
“Saya sudah di bandara Juanda, daeng. Menurut informasi tadi, setengah jam lagi, pesawat kami akan berangkat.”jawabku dengan suara melemah.
“Iyya pale Ndi’, hati-hatiki nah. Oya, mau bicara daeng Nalla,”
“  Ndi’ Tayu, temaemako anne kah? tette siapa nu battu Ndi’?” Tanya kakakku dengan logat Makassarnya yang kental.
“ Jam delapan tibama ri Makassar daeng. Salamku untuk I ammak na bapak nah.”
“iyya Ndi’ bau’ku. Hati-hatiki nah. Salamakki Ndi’.”
Klik. Telepon terputus lagi.
Bunyi microphone pengeras suara dari ruang informasi mulai terdengar. Panggilan bagi seluruh penumpang tujuan Makassar dan Kendari. Aku membenahi tas miniku.

* * * * *

Prangggg….. Handphoneku terjatuh ke lantai pesawat tidak lama setelah pesawat tinggal landas di bandara Hasanuddin. Telepon dari adikku begitu mengagetkan dan membuatku shock. Aku belum melangkahkan kaki turun ke tangga pesawat ini. Rasanya petir dan kilat menamparku baru saja. Sungguh, tak memercayainya. Antara ada dan tiada. Aku lengah. Tubuhku hampir tumbang. Andai saja tak diraih oleh seorang teman satu barisan kursiku di pesawat. Dia menenangkanku. Memberiku air mineral untuk ku minum. Tuhan, kau telah memperlihatkan kuasamu, kini. Selang hanya kurang dari satu setengah jam yang lalu, aku disambut oleh kabar buruk tentang kematian kakakku, daeng Nalla. Tragis. Aku kalang kabut. Aku ingin mati saja. Aku… ah, kukuatkan langkahku menuruni tiap tangga pesawat. 2 jam lagi, barulah aku sampai di rumahku, di Butta Turatea. Beginikah rupa ketiadaan itu? Seperti kau melihat dirimu terbaring di keranda hijau itu.

* * * * *

Riuh. Gemuruh. Gersang.
Dua hari berlalu. Rasanya tak percaya semua ini. Kebiasaan-kebiasan kita dulu, terbayang tiap detik. Menari-nari di pelupuk mata sembabku. Tubuh gempalmu kini tak bisa kunikmati lagi. Seperti sarapan pagi, aku selalu menggodamu sambil menepuk-nepuk perutmu yang kian hari kian membuncit, seperti bos-bos atau pejabat yang korupsi saja kataku. Menyuruhmu agar melakukan diet, biar wajah gantengmu semasa remaja dulu nampak lagi. Tubuh atletismu yang menggoda mata para gadis di kampung bahkan senior wanita di sekolahmu sering kali menggoda wajahmu yang tampan. Tahukah apa yang membuat mereka tertarik? Bukan tanganmu tentunya. Tapi, kau lelaki sempurna di mata wanita, masa itu. Hidung yang mancung. Bibir seksi yang mengalahkan bibir beberapa gadis di sekolah, bahkan bibirku. Tatapan yang sendu tapi tajam, seakan menghujam jantung mereka. Tubuh atletis. Kulit sawo matang pun hampir mengalahkan mereka. Sempurna. Kau idola. Bahkan, gadis-gadis itu yang menyatakan perasaannya padamu. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak yang hampir sempurna.
Perih membuncah di dadaku. Tangis ini ingin meledak jika kenangan itu berlarian di otakku. Masa-masa sekolah dulu, keakraban kita sungguh membuat iri yang lain. Hingga kau menjadi lelaki yang dikenal paling nakal ketika usiamu menginjak masa SMA. Kau mulai mengenal rokok. Menenggak ballo’. Bermain judi. Hingga pernah melawan orang tua kita. Yah, aku tahu, itu gejolak remajamu. Tahun berlalu begitu saja tanpa meminta pamit pada kita. Namun, satu hal yang kubanggakan darimu, hingga kematian menjemputmu, kau telah bertobat beberapa tahun yang lalu, saat minuman ballo’ itu membuatmu meregang, hampir menghilangkan nyawamu di usiamu yang ke 19. Namun, Tuhan masih sayang padamu, daeng. Kau diberi waktu 7 tahun untuk menuntaskan dosamu dahulu. Meregang. Kau tertidur dengan tenang di rumah barumu yang pengap. Dinding tanah hitam. Kau dingin, daeng? Selimutmu hanya kafan putih tipis itu. Sudah bertemukah kau dengan mungkar, daeng? Kutitip doa padanya agar dia meloloskanmu dengan mudah.

* * * * *

Hujan masih menampar-nampar di luar. Bulan menelikung. Malam mendingin. Derit seng tua rumahku begitu jelas. Suara riuh dan tangis masih terdengar bergantian. Di ruang tengah, bapak-bapak A’rate’ Arab. Dilanjutkan, mengaji. Tak kalah, suara piring-piring berdentingan dari arah dapur. Aku mengusap pipiku yang sembab. Bengkak. Kucari ammakku. Beliaulah yang paling terpukul atas kejadian ini. Anak kesayangannya telah tiada kini. Kudengar isak tangis dari dalam kamarnya. Ku buka pintu kamar dan menyerbunya dengan pelukanku.
“Sabarlah, Ammak. Takdirlah yang meng-ada-kan kejadian ini hingga menjadi tiada.” Bujukku dengan mengusap lembut airmatanya.
“iyya Nak.”
“Oya, bagaimana pattumateangna daeng Nalla-ku? Apakah mama masih mau lakukan itu?  Soalnya tabunganku tidak cukup 2 juta lagi. Sisanya, temaiki na angngalle ammak? Jangan sampai, hanya gara-gara ini, kita berutang dan perjalanan daeng Nalla ke kuburnya terasa berat. Dia pasti mengerti kok,” aku masih berusaha menjelaskan pada mama agar  tidak usah saja, atau paling tidak, sederhana dan apa adanya saja. Tapi, begitulah adat Kami di Turatea. Sebagian orang tua masih meyakini kalau attumate menjadi suatu ritual keharusan yang harus dilakukan ketika salah satu keluarga yang meninggal. Jika tidak, maka perjalanan mayat itu tidak akan lancar. Aneh kan? Tentu saja, aku menentang ini, sebab kadangkala, terkesan dipaksakan. Menghabiskan dana besar-besaran demi pergumulan adat ini. Padahal, kita sedang berduka. Kehilangan sebuah nyawa. Mengapa mesti dipertaruhkan lagi dengan pesta kematian yang tak semestinya. Bukankah agama pun tak menginginkan demikian?
“Apa maksudmu, Nak? Kau mau daeng Nallamu tidak tenang di sana? Kau sama saja dengan puringmu, Haji Suaib, sama-sama Muhammadiyah.” Suara ammakku begitu keras, bahkan hampir terdengar ke luar kamar. Aku terdiam. Aku memang selalu dicap anak yang tak setuju dengan adat ini. Di daerahku, dikenal dari kalangan Muhammadiyah, tidak perlu melakukan prosesi pattumateang ini. Sesudah dikuburkan, lalu, diadakan pengajian hingga 3 hari, maka dilanjutkan Ta’ziyah di malam keempat meninggalnya. Sedangkan, kalangan non Muhammadiyah itu adalah yang meyakini adat sedemikian rupa.
Aku mendesah. Nafasku saling memburu. Tak sanggup rasanya berdebat begitu panjang dengan Ammakku, di saat dia terguncang dan membutuhkanku sebagai putrinya yang diandalkannya kini. Sebab, kedua adikku masih kuliah. Aku lupa bercerita, kalo aku punya adik dua orang laki-laki yang sedang berkuliah pada universitas swasta di Makassar.


#4
Seperti tatapku yang terhenti dihujammu

Hari ke tujuh.
Pengajian pun ditamatkan malam ini. Acara ta’ziyah pun sedia dilakukan malam nanti. Seluruh sajian makanan telah lengkap tersaji di meja untuk menjamu tetamu dan seluruh keluarga besarku. Segala ihwal pattumateang itu telah tersedia dan tertata rapi di ruang tamu. Kasur No. 2. Tempat tidur ukuran 2. Segala pernak-pernik dapur mulai piring, gelas, sendok hingga panci telah siap dipindahtangankan kepada pak Imam, yang mengurusi jenazah kakakku hingga hari terakhir. Tumpi talle’, bannang-bannang, unti ti’no dan beragam makanan lainya yang sudah dikantongi dalam plastik hitam pun siap dibagikan untuk para pembaca Al-qur’an selama 7 hari itu. Semuanya sudah siap.
Suara Ustadz yang memberikan siraman rohani dan tauziyahnya begitu menggigit batinku. Airmata menari-nari lagi seperti liukan tarian ular mendengar seruling pamong. Ambruk. Kulihat senyumnya. Melambai. Aroma wangi begitu terasa tercium. Putih.

--- oOo ---

Keterangan:
Ammak : Panggilan untuk Ibu
Attumate: Prosesi pesta kematian.
Pattumateang : Ritual sakral setelah kematian yang dilakukan dengan prosesi yang panjang.
‘Ndi’ tayu, bajik-bajik jaki? : Adik Tayu, Apakah kamu baik-baik saja?
Nontonka : Saya Nonton
Salamakki battu mae ri ballaka : Semoga selamat sampai di rumah ini nanti
-ki, -ta : Menunjukkan kesopanan dalam tuturan bahasa Makassar atau bugis
Temaemako anne kah? : Kamu sudah di mana sekarang?
Tette siapa nu battu Ndi’? : Jam berapa kamu tiba adik?
Ndi’ bau’ku : Adikku yang ku saying
Ballo’ : Jenis minuman keras tradisional
Purinang : Saudara ayah atau ibu
Tibama : Saya sudah tiba
Tumpi talle : Kue yang dibuat dari gula merah dan tepung beras berbentuk bulat
Bannang-bannang : kue berbentuk jarring-jaring
Unti ti’no : Pisang masak

@Makassar, 18/03/11

>>> Yang punya ide, yang nulis, yang ngedit: RIANTY TAYU SYAFNA
>>> Yang memprovokasi: IRSYAM SYAM
.

0 komentar:

Posting Komentar