Sabtu, 19 Maret 2011

Cinta dalam Bakso

Ilustrasi / inadwiana.wordpress.com
Hidup selalu soal pilihan dan sering tak memberi kita kebebasan memiliki semua yang kita harapkan. Begitu juga dengan mimpi. Berapa banyak mimpi yang tersingkir demi satu pilihan mutlak? Hidup  tak seperti judi. Yang jika kau sudah mahir bertaruh, maka peluang menangmu semakin besar. Hah!

Hidup lebih mirip dengan mata dadu. Karena begitu dilempar, maka biarkan saja udara yang menentukan angka yang akan muncul. Dan siapkanlah jantung untuk tak berdetak barang beberapa lama.

Hidup bukan tentang pertaruhan, tapi lebih pada kesiapan. Dan kesiapan inilah yang yang tak dimiliki sebagian orang.

Seperti Narmi, perempuan yang dikhianati pilihan. Waktu dan pilihan  telah membunuh semangat hidupnya satu persatu. Perlahan namun pasti.

” kalo kau sudah tak tahan, baek kau tinggalkan saja laki kau tu. Laki tak berguna macam tu asik je kau pertahankan.” Narmi terdiam menunduk mendengarkan Umak mengoceh. Terbersit hatinya untuk sekedar menyangkal. Tapi tak jadi.

” Kita ni memang tak kaya betol, tapi tak  pernah juga kau hidup susah sampe tak makan macam ni. Tengok badan kau tu, dah kurus tak terawat. Dah macam ikan asin didiang matahari! “ Narmi makin tertunduk dalam. Digenggamnya tangan Matulla erat.

” Dan kau, Matulla! Tak bemalu betol. Harusnya sebagai laki Narmi, kau kesini membawa beras. Bukannya meminjam uang.” Kali ini umak menuangkan marahnya pada Matulla, suami Narmi.

” Mulai besok, baek kalian urus surat cerai..” Jelas Matulla kaget.

” Bu..” Matulla bangkit dari duduknya.

” Kalo kau memang sayang ngan Narmi, baek bercerai saja. Masih ada hati kau nak menyiksa dia?  Cinta macam apa cinta kau? “ Matulla tertohok. Tepat di jantung.

****

Malam berkabut. Kau menghilang di antara kerumunan risau yang kuhalau. Sedang suara jangkrik kian merdu bernyanyi seolah menghibur sunyi pada senyap malam yang galau. Ah, beginikah rupanya sunyi, sayang? Saat kau memilih pergi meninggalkanku dan segala atribut ‘miskin’ yang setia menemaniku. Kau tak sanggup setia kan, sayang?

Atau kau hanya tak ingin menepati janjimu dulu? Janji bahwa kau bersedia menghabiskan waktumu bersamaku di gubuk ini. Membuatkan masakan favoritku tiap hari. Pernah di suatu siang kau menanyaku sesuatu yang mengagetkan, ketika matahari sedang menggarang dan keringatmu kian mewangi di indera ciumku. Ah, kau semakin seksi kala itu.

”Daeng, tahukah kamu? Saat kusantap makanan ini, aku seperti menelan liurmu yang manis, merasakannya meliuk-liuk dalam mulutku dengan lidah yang kubiarkan bergoyang selalu.” Kau berucap tanpa henti.

Aku hanya memperhatikan bibirmu yang mungil meliuk-liuk, juga tatapan matamu yang berbinar. Seolah aku ingin membenam di dalamnya.

”Daeng, pernahkan kau berpikir untuk menjadi kaya? Oh tidak! Maksudku, aku ingin menghabiskan waktu denganmu. Bermain di halaman yang luas dengan anak-anak kita, berenang di kolam yang bening membiru, atau menikmati pagutan ciumanmu yang lembut di bathtub kamar mandi.” Matamu tertawa membayangkan semua itu. Sedang aku, hanya miris dan galau mendengarnya.
Sayang, andai kau tahu kalau semenjak aku mempersuntingmu, aku sudah memikirkan semua yang kau hayalkan. Hatiku melebur.

Kurengkuh tubuh rampingmu yang indah, kudekap begitu erat seolah tak ingin melepasmu dan bersama membayangkannya sesuai hayalmu. Kelak  aku mewujudkan mimpimu, sayang, percayalah! Meski entah kapan, itu janjiku.

”Daeng, aku ingin kau menjadikan mimpiku terwujud. Mau kan?” Narmi merengkuh pungggung Matulla dari belakang. Mencium tengkuk Matulla lembut.

“Tojeng-tojeng’ nga sayang.. Poangmi.. Matulla terhanyut pada cinta Narmi. Mereka berbaring begitu dekat, hembus nafas Narmi menyentuh tengkuknya. Ada sensasi tak terkisahkan disana.

”Tahukah kamu kalau kau mahir membuat bakso? Bakso yang sering kau buatkan untukku itu, rasanya mengalahkan hampir semua penjual bakso Jawa yang pernah kucicipi selama ini. Aku ingin kita mewujudkan mimpi kita dengan membiarkan orang lain bisa menikmatinya juga.” Matulla terdiam, gairahnya menguap.

”Bagaimana kalau kita berjualan bakso saja? Aku berjualan bakso dirumah dan kau berjualan berkeliling?  Bagaimana Daeng? “ Narmi merayu suaminya, kehidupan lebih baik adalah mimpi tiap manusia.

”Aku ini Makassar, Narmi. Bukan Jawa, tak kukuasai bagaimana meracik bumbu yang benar. Mengerti mami’ ki kodong.” Matulla beringsut dari tidurnya. Usul Narmi benar-benar tak masuk akal. Harga diri Matulla tergadai.

*****

Lima bulan berlalu sayang. Keberadaanmu tak lagi kuketahui kini. Sedang waktu kian menggerus keinginan kita. Lalu, masihkah kau memikirkan mimpimu kini? Mimpi kita?

Bahkan aku tak sanggup memulai. Ketiadaanmu menghancurkan keinginan kita, sayang. Tapi, aku sudah berjanji pada langit dan bumi tempat kita berpijak, tempat kau pernah menghabiskan waktu di gubuk tuaku. Tempat kau sering memilin-milin bakso buatanku saat kau ingin menyantapnya, dan tempat kau menangis sesunggukan saat meminta mengikhlaskan kepergianmu. Katamu, kelak kau akan kembali jika mimpimu bisa kuwujudkan.

Mimpi itu hampir nyata kini. Seorang Makassar penjual bakso ternyata tak begitu buruk. Seperti kata yang sering kau ucapkan sambil mengelus pundakku, dulu sekali. Memberikan kekuatan pada bahuku, menjalarkan semangat hingga ke kakiku.

Mimpi kita hampir nyata kini. Katamu, kelak kau akan kembali jika mimpimu bisa kuwujudkan. Sampai sekarang, aku hanya bermain dengan kenangan dan bayangmu di tiap sudut gubuk kita ini. Gubuk yang perlahan ku ganti dengan rumah yang kau inginkan. Tempat dimana ada anak-anak berkejaran ramai sekali. Anak-anak kita,sayang.

*****

Hidup selalu soal pilihan. Jika tak sanggup memilih, maka bersiaplah menjadi korban dalam pertarungan waktu dan nasib. Hidup bukan bukan lotre. Hidup lebih mirip abu dalam sekam. Perlahan, namun jika kau tak cepat menyadari, habislah hidupmu.

” Hutang umak ke Madit dah betumpuk. Dia cuma nak kawin ngan kau, Narmi. Niatnya tulus.” Umak tak sanggup melanjutkan ucapannya. Narmi merenungkan nasib dan cintanya. Begitu juga dengan keadaan dan keinginan umak yang tak mungkin ditolak.

Hidup selalu tentang pilihan yang tak pernah membiarkan Narmi memiliki semua inginnya.

______


Catatan kaki:
Mengerti Mami’ki kodong : Harap kau mengerti
Tojeng-tojeng’ ngan sayang,, Poangmi : Tentu saja sayang. Katakanlah

***

Kolaborasi Asoy bareng Santy Novaria
.

2 komentar:

Reni... mengatakan...

Hidup memang menempatkan kita pada pilihan-pilihan... :D :D

IRSYAM SYAM mengatakan...

Pilih yang paling banyak maslahatnya, ketimbang mudharatnya.

Posting Komentar