Minggu, 17 Juli 2011

Sekolah di Atas Danau

Headlines Kompasiana

Andai saja tak ada papan nama, saya tak akan pernah tahu kalau ini adalah sebuah sekolah. Dari konstruksi bangunannya saja jelas tidak lazim. Seperti rumah penduduk sekitar, berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Selain itu, bangunan sekolah juga menyatu dengan perumahan penduduk, tidak ada dikotomi yang jelas berupa pagar atau pembatas. Mungkin perbedaan yang sedikit mencolok, karena dinding sekolah ini dicat dengan warna putih dan coklat tua.

SD Negeri No. 68 Lautang, itulah nama sekolah ini. Tepatnya di Dusun Alau Salo, Desa Lautang, Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. Sayang sekali ketika saya berada di sana, bertepatan dengan hari minggu. Sekolah sedang libur, sehingga tidak bisa menyaksikan aktivitas belajar mengajar. Untunglah ada sekumpulan bocah sedang bermain di sekitar sekolah. Saya coba menghampiri mereka.

Pucuk dicinta ulang tiba, dua diantaranya mengaku sebagai siswa sekolah. Suardi yang masih duduk di kelas 3 dan Ihsan siswa kelas 4. Dari kedua bocah inilah saya memperoleh sedikit informasi tentang sekolahnya. Letak sekolah berada di pinggir aliran sungai menuju ke Danau Tempe yang memisahkan Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo dengan Kecamatan panca Lautang Kabupaten Sidrap. Berada di pinggir aliran sungai membuat bocah ini sangat akrab dengan air, perahu dan ikan.

Sekolah ini bisa dijangkau melalui jalan darat dari pusat kota kecamatan Belawa dengan berjalan kaki. Bisa juga dengan naik sepeda atau motor. Belum ada jalan untuk kendaraan roda empat. Cukup beralasan jika pemerintah belum membangun jalan, mengingat setiap tahun terjadi banjir. Entah berapa jarak persisnya, dari belakang sekolah saya melihat jalur yang harus ditempuh berupa hamparan luas yang sebentar lagi akan ditanami jagung, yang tentunya berkejaran dengan waktu sebelum banjir kembali datang.

Sementara dari Kelurahaan Wette’e di Kabupaten sidrap, bisa dijangkau dengan menyebrang sungai menggunakan perahu para nelayan. Tapi itu dulu, karena sekarang bisa jalan kaki menyebrang melalui jembatan darurat yag terbuat dari kayu. Saya menyebutnya darurat karena memang jembatan ini tidak paten. Terbuat dari kayu dan bambu yang diikat. Jembatan itu akan dibongkar kalau sedang banjir demi kelancaran lalu lintas perahu, dan akan dipasang kembali jika banjir telah surut.

Sekolah ini terdiri dari tiga bangunan. Bangunan utama yang merupakan ruang belajar, sementara dua bangunan lain adalah kantor dan satunya lagi sebagai aula. Gedung utama terdiri dari tiga ruangan, mengingat sekolah dasar terdiri dari enam tingkatan kelas, maka setiap ruangan digunakan oleh dua kelas. Ruangan pertama untuk kelas I dan II, ruangan kedua untuk kelas III dan IV sementara ruangan ketiga untuk kelas V dan VI.

Penggunaan kelasnya tidak digilir, tapi digunakan bersamaan. Jadi wali kelas harus mengajar murid pada dua tingkatan pada ruangan dan jam yang sama. Menurut Suardi, dalam ruangan kelas terdapat dua papan tulis. Jika papan tulis sebelah kiri digunakan untuk kelas III, maka papan di sampingnya untuk kelas IV. Saya lalu bertanya berapa jumlah guru yang mengajar di sekolahnya? Kedua bocah ini mulai menyebut nama gurunya satu persatu, yang kemudian berhenti pada bilangan ke sembilan. Semua guru bertempat tinggal di luar desa, hanya seorang yang menetap di sebuah rumah di samping sekolah.

Ihsan tak lupa menjelaskan, jika sedang banjir maka mereka menggunakan angkutan perahu ke sekolah. Hampir semua rumah di desanya mempunyai perahu. Bahkan beberapa perahu terlihat sedang diparkir di bawah bangunan sekolah. Namun sekolah akan diliburkan jika ketinggian banjir sampai menenggelamkan lantai ruang kelas, yang sebenarya sudah cukup tinggi, sekira 3 meter dari permukaan tanah. Air pernah samai ke pusar, lanjutnya lagi.

Bangunan kantor juga terdiri dari tiga ruangan. Yang pertama adalah ruangan UKS (Unit Kesehatan Sekolah), ruangan di sebelahnya difungsikan sebagai kantor (mungkin ruang guru) sedang ruang paling ujung adalah perpustakaan. Di depan bangunan sekolah terdapat halaman yang cukup luas, sebuah tiang untuk bendera berdiri tegak. Juga lapangan bola, yang pastinya hanya bisa digunakan jika tidak sedang banjir.

Dari aksen yang digunakan kedua bocah ini, memang agak berbeda dengan aksen Bugis Wajo yang biasa saya dengar. Lebih mirip Bugis Sidrap, mungkin karena letak geografisnya yang lebih dekat dari Sidrap. Sungguh tak pernah menduga, tidak jauh dari kampung halaman saya ada sekolah dengan konstruksi bangunan yang unik seperti ini. Saya tak punya persiapan khusus ketika ke sana, termasuk tak membawa kamera. Hanya bisa mengabadikan dengan kamera ponsel, jadi banyak maaf jika gambarnya agak kabur.
.
@Belawa, 3 Juli 2011
IRSYAM SYAM
.

0 komentar:

Posting Komentar