Rabu, 02 Februari 2011

Beda Bugis dengan Makassar

Headlines kompasiana 14/12/2010 (museumindonesia)
Beberapa malam yang lalu, sebuah stasiun televisi swasta menggelar telekuis interaktif. Pemirsa dari seluruh pelosok Indonesia bisa menjadi peserta, cukup dengan menelepon ke nomer yang tertera di running teks. Penelepon pertama seorang Ibu dari Makassar. Sebagaimana sudah sangat familiar di televisi nasional, jika ada pemirsa dari Makassar, maka langsung disapa dengan Aga Kareba? (apa kabar). Si penelepon lalu menjawab Kareba Madeceng. Sontak presenter cantik pembawa acara kuis itu keheranan, karena jawaban yang dia tunggu adalah “baji-baji ji”.


Presenter ini lalu mengira si penelepon kabarnya kurang baik. Saya yang menyaksikan itu di televisi, hanya ketawa-ketawa kacci (tersenyum kecut). Sebagai putra asli Sulawesi Selatan, mendengar jawaban ibu yang menelepon itu, saya bisa langsung tahu kalau dia bukan orang Makassar tapi orang Bugis. Dalam hal menanyakan kabar seseorang, baik Bugis maupun Makassar menggunakan sapaan aga kareba tapi untuk menjawab berbeda. Makassar menjawab ”baji-baji ji” (baik-baik saja) dan Bugis menjawab ”kareba madeceng” (kabar baik).
» » » » » » » » » »
Pada sebuah kegiatan nasional mahasiswa di Universitas Andalas, Padang. Seorang delegasi dari Universitas Lampung bertanya ke saya “Daeng, Juku Eja apaan?”. Kebetulan waktu itu saya memakai syal bertuliskan “Tim Juku Eja, PSM Makassar”. Saya jadi bingung karena memang tidak tahu. Meski sudah hampir sepuluh tahun menetap di Makassar, Bahasa Makassar saya sangat pas-pasan. Untunglah salah seorang teman delegasi dari UNHAS waktu itu langsung menjawab kalau Juku Eja artinya Ikan Merah. Ikan merupakan lauk sehari-hari orang Makassar yang mempunyai nilai gizi tinggi yang menyimbolkan kekuatan, sedangkan merah adalah warna kebesaran PSM.
» » » » » » » » » »
Jika terjadi tawuran atau bentrok pada demo mahasiswa Makassar. Maka teman-teman saya dari luar Sulawesi Selatan pasti akan mengirim sms yang isinya tidak jauh-jauh dari “Kenapa sih mahasiswa Makassar kalau tidak tawuran, ya demo anarkis?”. Saya lalu menanggapi dengan enteng “Tau ah, saya kan mahasiswa Bugis, hehehe….”. Tentu itu hanya sebuah apologi untuk menghindar dari pertanyaan teman-teman di luar sana. Karena rasionalisasi apapun yang saya berikan, pasti dibantah dan dituduh hanya mencari pembenaran. Tapi jika dijawab enteng seperti itu, teman saya akan ikut tersenyum dan pertanyaan soal aksi mahasiswa Makassar tidak lagi berlanjut.

*****************************************************************************
Cerita sederhana di atas memperlihatkan kalau orang di luar Sulawesi Selatan sulit membedakan antara orang Bugis dan Makassar. Padahal Bugis dan Makassar adalah dua etnis yang berbeda. Entah kenapa pula Bugis identik dengan Makassar (begitupun sebaliknya), sehingga sering kita dengar penyebutannya disertakan jadi Bugis-Makassar. Banyak tokoh asal Sulawesi Selatan yang berkiprah di tingkat nasional, dalam suatu kesempatan disebut orang Bugis dan pada kesempatan lain disebut orang Makassar. Sederhananya, jika anda mengaku berasal dari Sulawesi Selatan maka orang di luar akan memvonis anda sebagai orang Bugis-Makassar.

Tentu saya tidak bermaksud membuat dikotomi antara Etnis Bugis dan Etnis Makassar yang sekarang sudah membaur. Cuma saya tidak mengerti, kenapa hanya Bugis-Makassar? Bukankah di Sulawesi Selatan ada empat etnis besar? Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar (Sekarang mekar Jadi Sulawesi Barat). Maka dalam hal ini, saya memberi apresiasi untuk para seniman yang telah mengkombain keempatnya dalam sebuah tarian yang sekarang dikenal dikenal nama “tarian empat etnis”. Setidaknya bisa menjadi simbol pemersatu empat etnis besar di Sulawesi Selatan. Sebenarnya saya hendak mengatakan, Sulawesi Selatan itu bukan hanya Bugis-Makassar tapi Bugis-Makassar-Toraja-Mandar dan beberapa etnis lain.


Satu lagi, di kalangan netizen terkadang saya dipanggil “Daeng”, yah no problem. Tapi untuk sekedar diketahui, kalau di kampung halaman saya yang dulu menjadi teritorial dua kerajaan Bugis, Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Panggilan sehari-hari untuk orang yang lebih tua itu “Deng” (tidak pake A).


@Sidrap, 14/12/2010
Salama ki’ topada salama’
IRSYAM SYAM
Lahir di Bugis, Menetap di Makassar. Sesekali traveling ke Mandar dan tamasya di Toraja.
.

0 komentar:

Posting Komentar