Kamis, 03 Februari 2011

Penggembala dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika

Ilustrasi Penggembala (kfk.kompas.com)
Untuk pertama kalinya saya jatuh cinta pada sebuah lagu dengan lirik bahasa Jawa. Judulnya lir-ilir, yang merupakan original soundtrack dari film Sang Pencerah. Meski diaransemen dengan musik Jawa yang kental (suara gamelan, etc….) lagu itu tetap terdengar modern. Sehingga meski tak mengerti artinya, saya tetap larut dalam iramanya. Salah satu liriknya “cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi. Kata “cah angon” mengingatkan pada sebuah artikel tentang peternakan yang saya baca beberapa waktu lalu. Kalau tidak salah ingat, “cah angon” tak lain adalah kata dalam bahasa Jawa yang berarti penggembala.

Karena penasaran, saya lalu mericek kebenarannya pada seorang kawan di Jawa Tengah. Dan kawan itu pun mengiyakan kalau “cah angon” memang istilah yang digunakan untuk penggembala. Lalu saya pikir-pikir, tanggung jika hanya tahu penggembala dalam bahasa Jawa. Kenapa tidak sekalian semua bahasa daerah di Indonesia. Maka saya pun mulai menghubungi kawan-kawan terkait bahasa daerah penggembala versi mereka. Dan hasilnya, saya sukses mengumpulkan 20 bahasa daerah dari kata penggembala. Tentu masih jauh dari harapan, jika mengingat jumlah etnis di Indonesia yang mencapai ribuan. Tapi dari aspek penyebaran etnis sudah cukup mewakili, khususnya dari pulau-pulau besar.

Penggembala dan peternak adalah dua profesi yang sama, yaitu sama-sama membudidayakan hewan. Setiap penggembala adalah peternak, tapi tidak semua peternak adalah penggembala, karena penggembala lebih dikhususkan kepada peternak yang menggiring hewan ternaknya mencari pakan (makanan) ke padang rumput. Pada beberapa etnis tidak terdapat bahasa daerah untuk keduanya, terkadang hanya peternak atau penggembala saja. Sehingga yang ditampilkan dalam tulisan ini terbatas pada etnis yang memiliki bahasa daerah untuk penggembala.

Meski hewan ternak yang bisa digembalakan tidak terbatas pada jenis tertentu, tapi belakangan diidentikkan dengan sapi. Itulah makanya dalam beberapa bahasa daerah setempat, terkadang mengikutkan kata sapi di belakangnya. Ketika membaca ulang kiriman kawan-kawan, saya terkadang tersenyum sendiri. Bukannya lucu, tapi unik. Alangkah beranekaragamnya budaya di negeri tercinta ini. Setidaknya bisa sedikit menumbuhkan nasionalisme saya di tengah semakin rawannya ancaman disintegrasi bangsa. Berikut hasilnya…

1. Malind (Papua) = Yahayabanem
2. Ternate (Maluku Utara) = Jaga-jaga sapi
3. Dompu (NTB) = Douma jaga capi
4. Bolaan Mongondow (Sulut) = Momomiag
5. Gorontalo (Gorontalo) = Momiahu Bibiahu
6. Kaili (Sulteng) = Noevu
7. Bugis (Sulsel) = Pakkampi
8. Luwu/Toraja (Sulsel) = Pakkambi
9. Makassar (Sulsel) = Pakalaki
10. Duri (Sulsel) = Pangrewa
11. Mandar (Sulbar) = Pa’ambi
12. Tolaki (Sultra) = Pombakani
13. Banjar (Kaltim) = Manggadu/Mahuam
14. Bali (Bali) = Pengangon
15. Madura (Jatim) = Nguan Sapeh
16. Jawa/Sunda (Jabar/Jateng/DIY) = Cah Angon
17. Minangkabau (Sumbar) = Pangambalo
18. Batak (Sumut) = Permahan
19. Riau (Riau) = Patonak
20. Aceh (Aceh) = Peurabe
21. etc

Terima kasih kepada segenap kontributor. Kawan-kawan di Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI). Kawan-kawan sealmamater di Fakultas Peternakan UNHAS. Juga kawan-kawan netizen (Facebooker and Blogger). List ini akan terus bertambah, karena masih banyak kontributor yang belum mengkonfirmasi. Termasuk jika kawan-kawan sekalian bersedia menjadi kontributor. Silahkan tulis di bagian komentar. Pun jika ada kesalahan penulisan baik etnis maupun bahasa daerahnya, mohon dikoreksi.
.
Dari sebuah padang penggembalaan (Bila Rancah) terluas di Asia Tenggara.
Wassalam…
IRSYAM SYAM
@Bila Ranch - Sidrap, 01/02/2011.

0 komentar:

Posting Komentar